PEMBENTUKAN PERATURAN DESA
Peraturan Desa ditetapkan oleh kepala desa setelah
mendapat persetujuan bersama Badan Perwakilan Desa, yang dibentuk dalam
rangka penyelenggaraan otonomi desa. Perdes merupakan penjabaran lebih
lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dengan
memperhatikan ciri khas masing-masing desa. Sehubungan dengan hal
tersebut, sebuah Perdes dilarang bertentangan dengan kepentingan umum
dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.Dalam
konsep negara hukum yang demokratis keberadaan peraturan
perundang-undangan, termasuk Peraturan Desa dalam pembentukannya harus
didasarkan pada beberapa asas. Menurut Van der Vlies sebagaimana dikutip
oleh A. Hamid S. Attamimi membedakan 2 (dua) kategori asas-asas
pembentukan peraturan perundang-undangan yang patut (beginselen van
behoorlijk rcgelgeving), yaitu asas formal dan asas material. Asas-asas
formal meliputi:
- Asas tujuan jelas (Het beginsel van duideijke doelstellin)
- Asas lembaga yang tepat (Het beginsel van het juiste orgaan)
- Asas perlunya pengaturan (Het noodzakelijkheid beginsel)
- Asas dapat dilaksanakan (Het beginsel van uitvoorbaarheid)
- Asas Konsensus (het beginsel van de consensus)
- Asas kejelasan Terminologi dan sistematika (het beginsel van de duiddelijke terminologie en duidelijke systematiek).
- Asas bahwa peraturan perundang-undangan mudah dikenali (Het beginsel van den kenbaarheid)
- Asas persamaan (Het rechts gelijkheids beginsel)
- Asas kepastian hukum (Het rechtszekerheids begin sel)
- Asas pelaksanaan hukum sesuai dengan keadaan individual (Het beginsel van de individuelerechtsbedeling)
Dalam pasal 5 UU Nomor 10 tahun 2004 Juncto Pasal 137 UU Nomor 32 tahun 2004 diatur bahwa Peraturan Daerah yang di dalamnya termasuk adalah Peraturan Desa dibentuk berdasarkan pada asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang meliputi:
- kejelasan tujuan: yaitu bahwa setiap Pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus mempunyai tujuan yang jelas yang hendak dicapai.
- kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat; yaitu adalah bahwa setiap jenis Peraturan Perundang-undangan harus dibuat oleh lembaga/pejabat Pembentuk Peraturan Perundang-undangan yang berwenang. Peraturan Perundang-undangan tersebut dapat dibatalkan atau batal demi hukum, apabila dibuat oleh lembaga/pejabat yang tidak berwenang.
- kesesuaian antara jenis dan materi muatan; bahwa dalam Pembentakan Peraturan Perundang-undangan harus benar-benar memperhatikan materi muatan yang tepat dengan jenis Peraturan. Perundang-undangannya.
- dapat dilaksanakan; yaitu bahwa setiap Pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus memperhitungkan efektifitas Peraturan Perundang-undangan tersebut di dalam masyarakat, baik secara filosofis, yuridis maupun sosiologis.
- kedayagunaan dan kehasilgunaan; yaitu bahwa setiap Peraturan Perundang-undangan dibuat karena memang benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
- kejelasan rumusan; yaitu bahwa setiap Peraturan Perundang-undangan harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan Peraturan Perundang-undangan, sistematika dan pilihan kata atau terminologi, serta bahasa hukumnya jelas dan mudah dimengerti, sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya.
- Keterbukaan: yaitu bahwa dalam proses Pembentukan Peraturan Perundang-undangan mulai dari perencanaan, persiapan, penyusunan, dan pembahasan bersifat transparan dan terbuka. Dengan demikian seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam proses pembuatan Peraturan Perundang-undangan.
- asas pengayoman yaitu bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus berfungsi memberikan perlindungan dalam rangka menciptakan ketentraman masyarakat.
- asas kemanusiaan yaitu bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan perlindungan dan penghormatan hak-hak asasi manusia serta harkat dan martabat setiap warga negara dan penduduk Indonesia secara proporsional.
- asas kebangsaan yaitu bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan sifat dan watak bangsa Indonesia yang pluralistik (kebhinekaan) dengan tetap menjaga prinsip negara kesatuan Republik Indonesia.
- asas kekeluargaan yaitu bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan musyawarah untuk mencapai mufakat dalam setiap pengambilan keputusan.
- asas kenusantaraan yaitu bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan senantiasa memperhatikan kepentingan seluruh wilayah Indonesia dan materi muatan Peraturan Perundang-undangan yang dibuat di daerah merupakan bagian dari sistem hukum nasional yang berdasarkan Pancasila.
- asas bhinneka tunggal ika yaitu bahwa Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus memperhatikan keragaman penduduk, agama, suku dan golongan, kondisi khusus daerah, dan budaya khususnya yang menyangkut masalah-masalah sensitif dalam kehidupan. bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
- asas keadilan yaitu bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga negara tanpa kecuali.
- asas kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan yaitu bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan tidak boleh berisi hal-hal yang bersifat membedakan berdasarkan latar belakang, antara lain, agama, suku, ras, golongan, gender, atau status sosial.
- asas ketertiban dan kepastian hokum yaitu bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus dapat menimbulkan ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan adanya kepastian hukum.
- asas keseimbangan, keserasian, dan keselarasan yaitu bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan keseimbangan, keserasian, dan keselarasan, antara kepentingan individu dan masyarakat dengan kepentingan bangsa dan negara.
Dalam proses pembentukannya, Peraturan Desa membutuhkan partisipasi masyarakat agar hasil akhir dari Peraturan Desa dapat memenuhi aspek keberlakuan hukum dan dapat dilaksanakan sesuai tujuan pembentukannya. Partisipasi masyarakat dalam hal ini dapat berupa masukan dan sumbang pikiran dalam perumusan substansi pengaturan Peraturan Desa. Hal ini sangat sesuai dengan butir-butir konsep sebagaimana dikemukakan oleh Prof. Sudikno Mertokusumo bahwa hukum atau perundang-undangan akan dapat berlaku secara efektif apabila memenuhi tiga daya laku sekaligus yaitu filosofis, yuridis, dan sosiologis. Disamping itu juga harus memperhatikan efektifitas/daya lakunya secara ekonomis dan politis.
Masing-masing unsur atau landasan daya laku tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: (1) landasan filosofis, maksudnya agar produk hukum yang diterbitkan oleh Pemerintah Daerah jangan sampai bertentangan dengan nilai-nilai hakiki ditengah-tengah masyarakat, misalnya agama dan adat istiadat; (2) daya laku yuridis berarti bahwa perundang-undangan tersebut harus sesuai dengan asas-asas hukum yang berlaku dan dalam proses penyusunannya sesuai dengan aturan main yang ada. Asas-asas hukum umum yang dimaksud disini contohnya adalah asas “retroaktif”, “lex specialis derogat lex generalis”; lex superior derogat lex inferior; dan “lex posteriori derogat lex priori”; (3) produk-produk hukum yang dibuat harus memperhatikan unsur sosiologis, sehingga setiap produk hukum yang mempunyai akibat atau dampak kepada masyarakat dapat diterima oleh masyarakat secara wajar bahkan spontan; (4) landasan ekonomis, yang maksudnya agar produk hukum yang diterbitkan oleh Pemerintah daerah dapat berlaku sesuai dengan tuntutan ekonomis masyarakat dan mencakup berbagai hal yang menyangkut kehidupan masyarakat, misalkan kehutanan dan pelestarian sumberdaya alam; (5) landasan politis, maksudnya agar produk hukum yang diterbitkan oleh pemerintah daerah dapat berjalan sesuai dengan tujuan tanpa menimbulkan gejolak ditengah-tengah masyarakat.
Tidak dipenuhinya kelima unsur daya laku tersebut diatas akan berakibat tidak dapat berlakunya hukum dan perundang-undangan secara efektif. Kebanyakan produk hukum yang ada saat ini hanyalah berlaku secara yuridis tetapi tidak berlaku secara filosofis dan sosiologis. Ketidaktaatan asas dan keterbatasan kapasitas daerah dalam penyusunan produk hukum yang demikian ini yang dalam banyak hal menghambat pencapaian tujuan otonomi daerah. Dalam hal ini, keterlibatan masyarakat akan sangat menentukan aspek keberlakuan hukum secara efektif.
Roscoe Pound (1954) menyatakan bahwa hukum sebagai suatu unsur yang hidup dalam masyarakat harus senantiasa memajukan kepentingan umum. Kalimat “hukum sebagai suatu unsur yang hidup dalam masyarakat” menandakan konsistensi Pound dengan pandangan ahli-ahli sebelumnya seperti Erlich maupun Duguit. Artinya hukum harus dilahirkan dari konstruksi hukum masyarakat yang dilegalisasi oleh penguasa. Ia harus berasal dari konkretisasi nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Kemajuan pandangan Pound adalah pada penekanan arti dan fungsi pembentukan hukum. Disinilah awal mula dari fungsi hukum sebagai alat perubahan sosial yang terkenal itu.
Dari pandangan Pound ini dapat disimpulkan bahwa unsur normatif dan empirik dalam suatu peraturan hukum harus ada; keduanya adalah sama-sama perlunya. Artinya, hukum yang pada dasarnya adalah gejala-gejala dan nilai-nilai yang dalam masyarakat sebagai suatu pengalaman dikonkretisasi dalam suatu norma-norma hukum melalui tangan para ahli-ahli hukum sebagai hasil rasio yang kemudian dilegalisasi atau diberlakukan sebagai hukum oleh negara. Yang utama adalah nilai-nilai keadilan masyarakat harus senantiasa selaras dengan cita-cita keadilan negara yang dimanifestasikan dalam suatu produk hukum.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar